Sahara

Kepada Indonesia Maroko Berguru

KOMENTAR
post image

PEMERINTAH Kerajaan Maroko, ternyata merasa perlu belajar dari Indonesia cara menghadapi ancaman separatisme.

Mereka memuji kesabaran luar biasa yang dimiliki Indonesia hingga berhasil membawa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sejak 1970-an ingin memisahkan diri ke meja perundingan. Hanya dalam waktu beberapa bulan konflik yang telah memakan korban berlasan ribu jiwa itu, akhirnya selesai dengan perjanjian damai dan pemberian otonomi yang bersifat khusus untuk provinsi yang terletak di ujung utara Pulau Sumatera itu.

Perundingan pertama antara pemerintah Indonesia dan GAM dimulai pada Februari 2005 lalu di Finlandia, dan dimediasi bekas presiden Finandia Martti Ahtisaari. Dalam perundingan kedua yang digelar Juli 2005 itu, baik GAM dan Indonesia menyapakati draf perjanjian damai Finlandia. Draf perdamaian itu ditandatangangi sebulan kemudian. Proses perdamaian itu diperkuat tim, Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara Asean dan beberapa negara Uni Eropa.

Salah satu poin penting perjanjian damai itu, kesediaan pemerintah Indonesia memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh, dan memberikan kesempatan kepada calon independen untuk bertarung dalam pemilihan kepala daerah.

Dalam pembicaraan dengan Rakyat Merdeka pekan lalu, Duta Besar Maroko untuk Indonesia Abderrahmane Drissi Alami memuji keberhasilan Indonesia menyelesaikan ancaman separatisme di Aceh dengan damai.

Dia berharap, kelak Maroko juga dapat membawa Front Polisario yang ingin memisahkan Provinsi Sahara dari negara yang berdiri sejak abad ke-8 Masehi itu, ke meja perundingan.

Seperti di Aceh, bibit separatisme di Provinsi Sahara Maroko juga bersemi di 1970-an. Pada 1971, sekelompok mahasiswa Sahrawisalah satu suku Marokomulai mengorganisasi gerakan yang ingin memisahkan diri dari Maroko. Dan pada 1973 Front Polisario pun resmi berdiri.

Ancaman separatisme ini menjadi rumit karena negara tetangga Maroko seperti Aljazair dan Mauritania juga melibatkan diri. Bahkan Kenya dan Burundi, dua negara Afrika Tengah pun sempat ikut mendukung Polisario. Setelah diyakinkan berkali-kali, di tahun 2005 dan 2006, Burundi dan Kenya menarik dukungan mereka untuk Polisario.

Abderrahmane, yang didampingi Konsuler Kedubes Maroko untuk Indonesia, Mostafa Nakhlaoui mengatakan, kedaulatan mereka atas Provinsi Sahara didasarkan pada fakta sejarah sejak belas abad lalu.

"Baru-baru ini kami mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Indonesia. Kami mengharapkan dukungan penuh Indonesia," kata Abderrahmane.

Dia juga mengatakan, isu separatisme di Provinsi Sahara ini kembali dibicarakan dalam African Union Summit ke-8 akhir Januari lalu. Dalam kesempatan itu, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon berharap kedua pihak yang bertikai menempuh jalan damai.

"Pernyataan Sekjen PBB ini sejalan dengan kebijakan politik yang selama ini kami ambil dalam menyikapi persoalan di Provinsi Sahara," ujar diplomat karier yang sudah dua tahun bertugas di Jakarta ini.

Maroko juga berniat membawa persoalan ini dalam sidang Dewan Keamanan PBB yang akan digelar April nanti. Selain itu, mereka juga menyiapkan proposal otonomi khusus untuk Provinsi Maroko.

"Proposal otonomi ini adalah satu-satunya solusi yang paling realistis dan merupakan konsekuensi logis dari perselisihan ini," demikian Abderrahmane.

Foto Lainnya

Perkuat Kontak dengan Maroko, Uruguay Bekukan Hubungan untuk SADR

Sebelumnya

Bintang Bono

Berikutnya

Artikel