Politik

Menimbang Angin Revolusi di Utara Afrika

KOMENTAR
post image
Oleh: Teguh Santosa
Presiden Asosiasi Persahabatan Indonesia-Maroko

DRAMA politik di utara Afrika dalam tiga pekan terakhir ini bukan sesuatu yang mengejutkan. Penggulingan rezim diktator Zine El Abidine Ben Ali di Tunisia, perlawanan rakyat terhadap pemerintahan junta militer di Aljazair dan perlawan rakyat terhadap pemerintahan Husni Mubarak di Mesir adalah konsekuensi logis dari model pemerintahan yang gemar membohongi rakyat dan menebar janji-janji berkedok demokrasi dan pembangunan.

Sejak beberapa dekade terakhir pemerintah Tunisia meredam kebebasan dengan brutal. Jargon pembangunan yang diagung-agungkan sesungguhnya hanya dinikmati oleh kelompok elit. Kaum muda dijauhkan dari proses politik dan ekonomi. Kelompok oposisi diredam dengan berbagai cara, baik kasar maupun halus. Mereka inilah yang kemudian turun ke jalan dan memaksa Ben Ali hengkang.

Keadaan yang kurang lebih sama terjadi di Aljazair, dimana kelompok oposisi yang sangat kecil diawasi dengan ketat oleh pihak keamanan dan dinas rahasia. Seperti halnya di Mesir, belakangan ini, konsolidasi kaum muda Aljazair mulai menemukan bentuk perlawanan terhadap rezim junta militer Abdelaziz Bouteflika yang sejak 1999 Aljazair dan sumber daya alamnya untuk kepentingan kelompok elit.

Selama ini rezim yang berkuasa di tiga negara itu juga menggunakan “kartu ekstrimis Islam” untuk memperoleh dukungan dari Barat. Mereka dengan pintar memanfaatkan ketakutan Barat terhadap Islam untuk tidak saja meraup dukungan politik, tetapi juga memperoleh keuntungan ekonomi yang begitu besar.

Pemerintahan Husni Mubarak, misalnya, membunuh kelompok Islam moderat dan membiarkan Ikhwanul Muslimin tampil sebagai kekuatan oposisi yang berhadapan dengan Partai Nasional Demokrat yang mendukungnya. Setelah kedua kekuatan yang tak seimbang ini saling berhadap-hadapan, Husni Mubarak menakut-nakuti Barat dengan mengatakan bahwa pemilu yang bebas akan memberi peluang kepada kaum Islam fundamentalis untuk berkuasa. Propaganda Husni Mubarak cukup memuaskan Barat. Karena bagaimanapun juga, bagi dunia Barat, jauh lebih baik mempertahankan pemerintahan otoriter Husni Mubarak daripada memiliki pemerintahan Islam fundamentalis yang dapat mengganggu berbagai keuntungan politik dan ekonomi yang selama ini dinikmati Barat di kawasan Timur Tengah.

Menyusul pergolakan politik di ketiga negara itu, pertanyaan yang kini kerap menyapa adalah: kemana lagi angin revolusi akan bertiup? Akankah ia meluluhlantakan semua rezim di utara Afrika dan Timur Tengah? Akankah ia mengubah secara fundamental peta politik dunia?

Di zaman YouTube, Twitter, dan Facebook saat ini, dimana dengan mudahnya dunia bisa dimasukkan ke dalam kantong lalu dilipat-lipat serta informasi tidak mengenal ruang dan waktu lagi, pergolakan di ketiga negara itu akan menginspirasi masyarakat di negara manapun yang merasa tidak puas terhadap pemerintah mereka. Tidak hanya menginspirasi kawasan Timur Tengah yang dikenal sebagai surga bagi penguasa-keluarga yang memperoleh keuntungan terbesar dari petrodolar yang melimpah ruah, pergolakan di utara Afrika itu juga bukan tidak mungkin akan melampaui batas-batas regional. Pokoknya, ia akan dengan ramah menyapa negeri-negeri yang dikuasai rezim yang gemar berbohong dan memanipulasi.

Adakah negara yang tidak akan disapa oleh angin revolusi itu?

Ada, jawab Ahmed Charai dari Hudson Institute, sebuah lembaga thinktank yang didirikan futurolog Herman Kahn tahun 1961 dan bermarkas di Washington DC.

Menurut Ahmed Charai, di antara negara-negara yang untuk jangka waktu panjang kelihatannya tidak akan terpengaruh oleh angin revolusi itu adalah Maroko, tetangga Aljazair, Tunisia dan Mesir yang berada di ujung paling barat kawasan utara Afrika. Maroko dapat terhindar karena memiliki struktur dan budaya politik yang berbeda dengan negara-negara tetangganya.

Negeri yang telah berusian ratusan tahun itu tidak dikuasai oleh kelompok militer. Sistem monarki dan dinasti-dinasti yang pernah berkuasa di negara itu sejak abad ke-8 M ditenun oleh sejarah yang panjang sehingga menjadi kain-budaya yang hidup bersama masyarakat politik Maroko modern pasca kolonialisasi Barat. Inilah basis legitimasi politik terbesar bagi keluarga kerajaan yang tidak dimiliki oleh negara-negara tetangganya yang sedang dihumbalang revolusi.

Namun, sambung Charai, di luar urusan tenunan sejarah politik itu, Kerajaan Maroko, setidaknya sejak Raja Muhammad VI berkuasa pada 1999, telah lebih dahulu mengambil prakarsa demokrasi yang memantapkan pembanggunan politik dan ekonomi.

Sejak berkuasa menggantikan ayahnya, Raja Hassan II, Raja Muhammad VI memberikan kebebasan kepada pers, memberikan ruang terbuka kepada kelompok oposisi, dan memperbesar dengan sangat signifikan anggaran negara untuk membangun lembaga-lembaga masyarakat sipil. Pemilihan umum diikuti oleh puluhan partai politik digelar secara berkala. Ada masa di mana kelompok oposisi menguasai parlemen dan pemimpinnya menjadi perdana menteri. Di tahun 1998, misalnya, kelompok oposisi yang dipimpin kaum sosialis memilih Abderrahmane Youssofi sebagai perdana menteri yang berkuasa hingga 2002.

Tidak itu saja, Raja Muhammad VI juga berinisiatif mendirikan komite kebenaran dan rekonsiliasi yang didisain untuk menjawab ketidakadilan yang diciptakan oleh pemerintahan ayahnya. Di kawasan Timur Tengah, Maroko merupakan satu-satunya negara yang memiliki komite seperti ini. Maroko, seperti kebanyakan negara di Timur Tengah, juga mengidap penyakit korupsi. Di Maroko penyakit itu sempat begitu akut. Namun kadar akutnya berhasil ditekan setelah pemerintah mendirikan komite antikorupsi yang tidak tebang pilih. Juga di kawasan Timur Tengah, Maroko merupakan satu-satunya negara yang memiliki komite antikorupsi yang bekerja dengan efektif.

Bila pemuda Maroko tidak puas dan menginginkan perubahan, mereka tidak harus turun ke jalan karena partai oposisi selalu bersedia menampung dan memperjuangkan aspirasi mereka. Namun begitu, Anda akan dengan mudah melihat kelompok masyarakat menggelar demonstrasi di depan gedung parlemen di Rabat.

Apakah ada yang menginginkan rezim Maroko tumbang? Ada. Namun mereka adalah orang-orang Maroko yang tidak berada di Maroko dan karenanya tidak memiliki akar yang kuat dengan masyarakat Maroko.

Misalnya Pangeran Hisham, sepupu Raja Muhammad VI. Sejak lama Pangeran Hisham yang menetap di Princeton, New Jersey, berusaha menggalang kekuatan untuk menggulingkan Raja Muhammad VI dan mengambil alih kekuasaan. Namun dia bukan pendukung demokrasi. Sebaliknya, ia ingin membawa Maroko kembali ke alam monarki absolut. Dan itu, antara lain, sebab mengapa Pangeran Hisham tak mendapatkan dukungan dari rakyat Maroko.

Kelompok lain yang tidak puas dengan Kerajaan Maroko, sudah barang tentu adalah kelompok separatis Polisario yang menginginkan kemerdekaan Sahara. Pada praktiknya, keberadaan kelompok ini dimanfaatkan Aljazair sebagai kartu untuk menekan Maroko yang mereka anggap sebagi batu penghalang untuk mendominasi seluruh kawasan Sahel. Aljazair memberikan dukungan politik secara terbuka kepada Polisario dan mempersilakan Polisario beroperasi dari kamp Tindouf, di baratdaya Aljazair.

Dalam beberapa kali pembicaraan damai yang dimediasi PBB sejak 2007 lalu, Maroko menawarkan otonomi khusus kepada Sahara yang sejak direbut kembali dari tangan Spanyol pada 1975 mengalami kemajuan yang berarti. PBB dan negara-negara Barat memuji dan mendukung sikap Maroko. Sebaliknya, Polisario dan Aljazair menolak proposal otonomi khusus itu.

Belakangan, media massa dan lembaga riset internasional mulai menyoroti hubungan erat antara Polisario dan kelompok Al Qaeda di utara Afrika (AQIM). Kedua kelompok ini dilaporkan terlibat dalam berbagai operasi penyelundupan senjata dan obat-obatan terlarang. Polisario kini menjadi ancaman baru bagi keamanan dan stabilitas kawasan tersebut.

Foto Lainnya

Dibantu Dinas Intelijen Maroko, Pekerja Kemanusiaan Jerman Berhasil Dibebaskan

Sebelumnya

Parlemen Dorong Uni Eropa Perkuat Kerja Sama Dengan Maroko

Berikutnya

Artikel